TARJIH DAN MASALAH TERORISME


Hasil gambar untuk TARJIH DAN MASALAH TERORISME

 A.  Pengertian Tarjih
 Secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya  pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. Dalil yang dikuatkan disebut dengan tarjih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.
      Secara terminologi, ada dua definisi tarjih yang dikemukakan para ahli usul fiqih. Pertama, definisi ulama Hanafiyyah, yaitu:
إِظْهَارُ زِيَادَةٍ لِأَحَدِ الْمُتَمَاثِلَيْنِ عَلَى الآخَرِ بِمَا لاَيَسْتَقِلُّ
 Membuktikan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang bersamaan   (sederajat),yang dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri.

            Kedua, jumhur ulama mendefinisikan tarjih dengan:
تَقْوِيَةُ اِحْدَى الإِمَارَتَيْنِ الدَّلِيْلَيْنِ الظَّنِيَّيْنِ عَلَى الأُخْرَىْ لِيُعْمَلَ بِهَا
Menguatka salan satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan atau (diterapkan).[1]
      Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila telah terjadi pentarjihan dalil, maka dalil yang rajah wajib diamalkan. Alasanya adalah kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya dalam berbagai kasus. Misalnya, dalam kasus perbuatan yang mewajibkan mandi. Para sahabat menguatkan hadis dari Aisyah tentang iltiqa’ al khitanain (bertemunya alat vital laki-laki dan alat vital wanita, H.R. Muslim dan At-Tirmidzi). Dari hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa  air itu barsal dari air. Maksudnya, apabila keluar mani baru mandi wajib. Para sahabat juga menguatkan hadis tentang kebolehan seseorang berpuasa dalam keadaan berjunub. (H.R Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah dan Umi Salamah) dari hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa siapa yang dalam keadaan junub pagi hari, maka puasanya tidak sah.
      Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang tarjih itu wajib diamalkan.[2]
B.     Hukum tarjih
      Hukum mengamalkan dalil yang tarjih adalah wajib, sedangkan mengamalkan dalil yang marjuh di samping adanya yangrajih tidak dibenarkan. Dalil yang menunjukkan wajibnya beramal dengan yang rajah itu adalah apa yang di nukilkan dan diketahui dari ijma’ sahabat dan ulama salaf dalam kasus berbeda yang mewajibkan mendahulukan dalil rajah dari dua dalil yang dzanni. Umpamanya mendahulukan kabar dari Aisyah tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan, atas kabar Abu Hurairah yang maksudnya, mandi hanya diwajibkan bila keluar mani. Contoh lainnya adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau dalam keadaan junub waktu subuh padahal beliau sedang puasa. Di kuatkan atas hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa siapa yang junub waktu subuh dalam keadaan berpuasa tidak sah puasanya. Kekuatan kabar yang disampaikan oleh Aisyah ini adalah karena beliau lebih tahu tentang kejadian tersebut.
      Abu Bakar Al-Baqillani menjelaskan bahwa wajibnya mengamalkan dalil yang rajih itu bila usaha tarjih berlaku secara meyakinkan (qath’i) dan tidak wajib bila usaha tarjih dilakukan secara zhanni.
      Tarjih hanya mungkin berlaku diantara dalil-dalil yang zhanni. Yang demikian berlaku dalam batasan definisi dan dalam dalil-dalil syar’i. Tarjih dalam dalil syara’mungkin beralaku diantara dua dalil naqli (qiyas dan istidlal) atau antara dalil naqli dengan dalil aqli.[3]

C.    Syarat-syarat tarjih
      Adapun syarat-syarat tarjih yaitu:[4]
1.  Adanya persamaan antara dua dalil tersebut tentang ketsubutannya (status ketetapan dalilnya). Oleh karena itu terjadi ta’arudh atara Al-Qur’an (yang qathi’i Al-Tsubut) dengan Hadits Ahad (yang dzhanny Al-Tsubut)
2.  Adanya persamaan dalam kekuatannya. Jadi, jika yang satu dalil itu Hadits mutawatir dan yang lain Hadits Ahad, maka tidak ada ta’arudh. Karena dalam hal semacam ini hadits mutawatirlah yang harus didahulukan.

D.    Cara-cara pentarjihan
      Cara mentarjih hadis yang berlawan dapat ditnjau dari segi sanad hadis, matan hadis, kandungan hadis dan hal-hal di luar hadis.[5]
1.      Tarjih di tinjau dari segi sanad
a.       Memilih sanad yang banyak perowinya.
b.      Memilih yang perowinya ahli fiqh, karena mereka lebih mengetahui kandungan hadis yang di riwayatkan.
c.       Memilih perowinya yang lebih banyak hafalannya.
d.      Memilih perowinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakan.
e.       Memlih hadis yang dieritakan.
f.       Memilih perowi yang banyak bergaul dengan Nabi SAW.
2.      Tarjih ditinjau dari segi matan hadis
a.       Memilih matan yang bermakna hakikat dari pada majas
b.      Memilih matan yang mengandung makna khusus dari pada yang umum.
c.       Memilih yang menunjukkan maksud dua jalan dari pada satu jalan.
d.      Mendahulukan yang disertai ancaman dari pada yang tidak.
e.       Mendahulukan yang mengandung kecocokan dengan masalah dari pada yang menyalahi.
f.       Mendahulukan yang mengandung larangan daripada suruhan.
g.      Mendahulukan yang mengandung suruhan daripada kebolehan.
h.      Mendahulukan yang mengandung isyarat pada hukumdari pada yang tidak.
3.      Tarjih di tinjau dari segi kandungannya
a.       Mendahulukan kandungan yang mendekati hati-hati.
b.      Mendahulukan yang menetapkan hukum dari padayang tidak.
c.       Mendahulukan yang mengandung pembatalan khat dari pada yang menetapkannya.
d.      Mendahulukan yang menetapkan hukum asal.



LATAR BELAKANG MASALAH TEROSIME
Aksi Terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2000-2009 di Indonesia tercatat telah terjadi 22 pengeboman, baik dalam skala kecil maupun skala besar dan yang baru-baru ini para teroris melakukan peledakan Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton di Mega Kuningan pada jum’at pagi, tanggal 17 Juli 2009 dengan Jumlah korban tewas 9 orang dan luka-luka 55 orang, Aksi terorisme di Indonesia sebenarnya dimulai dengan ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan Cikini dalam upaya pembunuhan Presiden Pertama RI, Ir Soekarno, pada tahun 1962 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sampai pada bulan Agustus 2001 yaitu Peledakan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan melukai enam orang, semua aksi pemboman di Indonesia sepanjang tahun 1962 sampai dengan Agustus 2001 hanya menjadi isu dalam Negri, namun sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang memakan 3.000 korban..
Peristiwa 11 September mengawali babak baru isu terorisme menjadi isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh Negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Pasca tragedi 11 september 2001 Indonesia sendiri belum menganggap aksi pemboman yang terjadi di dalam negri sebagai aksi terorisme tapi aksi separatis/para pengacau keamanan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagainya, Pemerintah Indonesia baru menganggap adanya aksi Terorisme di Indonesia, setelah terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Hal ini terbukti pasca tragedy Bom Bali I, Pemerintah megeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada 2 tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini dikeluarkan mengingat peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme.

  • Istilah Terorisme
Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang. Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam D Purdue (1989)], the use word terorism is one method of delegitimation often use by side that has the military advantage..

Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1), Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
  2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
  1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
  3. Menggunakan kekerasan.
  4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama


  • Istilah Terorisme
Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang. Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam D Purdue (1989), the use word terorism is one method of delegitimation often use by side that has the military advantage..
Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi , korban bisa saja militer atau sipil , pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif – motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi , instrumen atau alat untuk mencapai tujuan . Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan.

                                                                               

























Kesimpulan

·         Tarjih adalah mengunggulkan salah satu dalil atas dalil lain yang saling bertentangan. Hukum mengamalkan dalil yangtarjih adalah wajib, sedangkan mengamalkan dalil yang marjuh di samping adanya yang rajih tidak dibenarkan. Syarat-syarat tarjih adalah adanya persamaan antara dua dalil dan adanya persamaan dalam kekuatannya. Adapun cara mentarjih dapat ditnjau dari segi sanad hadis, matan hadis, kandungan hadis dan hal-hal di luar hadis
  • Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Naun patut kita sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama .
  • Terorisme merupakan strategi , instrumen dan atau alat mencapai tujuan.
  • Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak memberikan efektifitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris.
  • Pemberian wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorisme.


 Fajar Agung Pratama/151080200201


 Source 


0 Response to "TARJIH DAN MASALAH TERORISME"

Posting Komentar