Siapa yang tidak kenal Muhammadiyah sebagai persyarikatan di
negeri ini? Sudah satu abad Muhammadiyah menjadi bagian penting dari perjalanan
bangsa Indonesia. Muhammadiyah telah berkiprah dan memberikan warna perjalanan
Indonesia, baik sebelum maupun sesudah menjadi negara. Kiprah Muhammadiyah itu
dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari politik, ekonomi,
hukum, sosial, pendidikan, dan berbagai bidang lainnya. Karena kiprah dalam
berbagai bidang ini, Nakamura, seorang pemerhati dari Jepang menyebut
Muhammadiyah itu memiliki banyak wajah. Di antara sekian bidang kehidupan itu,
Muhammadiyah dikenal paling depan dalam bidang pendidikan, sosial, dan
keagamaan.
Muhammadiyah sebagai persyarikatan memiliki tiga identitas,
yaitu gerakan Islam, dakwah, dan tajdid. Menilik tiga identitas ini,
Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai kelanjutan gerakan pembaharuan Islam di
dunia Islam. John O. Voll memberikan karakteristik sebuah gerakan pembaharuan,
yaitu menyerukan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam beragama, ijtihad
tetap terbuka untuk dilakukan secara mandiri, mengecam perilaku taklid, dan
mengecam bid’ah dalam ibadah.[4]
Ahmad Jainuri, dalam salah satu tulisannya, menyebutkan bahwa
Muhammadiyah itu organisasi Islam yang unik di banding organisasi Islam
lainnya, seperti Persis, al-Irsyad, dan NU. Keunikan itu menurut Jainuri,
seorang intelektual Muhammadiyah yang pernah menjabat rektor Universitas
Muhammadiyah Sidoharjo, karena di awal kelahirannya Muhammadiyah tidak pernah
mengaitkan dirinya dengan orientasi ideologis keagamaan tertentu. Muhammadiyah
didirikan adalah untuk meningkatkan kehidupan bagi kaum Muslimin Indonesia.[5]
Salah satu cara untuk meningkatkan kehidupan bagi kaum Muslim
adalah dengan menjadikan as-sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Tulisan singkat
ini mencoba menjelaskan as-sunnah/hadis sebagai sumber ajaran Islam menurut
Muhammadiyah.
B. Dasar Hukum Penggunaan
Sunnah/Hadis
Perintah untuk menggunakan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai
sumber hukum telah dinyatakan, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah/hadis.
Keharusan penggunaan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber
hukum untuk menetapkan Islam/fatwa, menurut Majelis Tarjih, didasarkan
pada sejumlah ayat al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah.
Di dalam al-Qur’an ada penegasan penggunaan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai
sumber ajaran Islam, di antaranya adalah Surat Âli ʻImrân (3): 31,[6] an-Nisâk (4): 64,[7] al-Hasyr (59): 7.[8]Ayat-ayat ini dengan jelas menunjukkan
keharusan berpegang kepada as-Sunnah al-Maqbûlah.
Al-Qur’an, Surat Ali Imron (3): ayat 31 menjelaskan tentang
keharusan untuk mengikuti Rasulullah dengan segala ajaran yang disampaikan.
Penegasan tersebut dapat ditemukan pada lafadفَاتَّبِعُونِي. Melalui lafad ini Allah memerintahkan kepada umat manusia,
kalau mencintai Allah maka ketaatan kepada Rasulullah merupakan suatu keharusan
untuk dilakukan.
Pada al-Qur’an Surat an-Nisak (4): 64, Allah menegaskan bahwa
kehadiran Rasulullah adalah untuk ditaati dan dijadikan sebagai rujukan dalam
menjalani kehidupan, termasuk di dalamnya memutuskan fatwa hukum. Yang dimaksud
dengan lafad rasul dalam ayat tersebut tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW.
Ketaan kepada Rasulullah untuk dijadikan ditaati dapat dilihat pada lafad رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ
Sedangkan al-Qur’an Surat al-Hasyr (59): 7, Allah memerintah
kepada umat manusia untuk mentaatti segala hal yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW sebagai utusan untuk menyampaikan risalah Islam, baik yang diperintahkan
maupun yang dialarang oleh Rasulullah SAW.
Adapun dasar penegasan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai
sumber ajaran Islam yang berasal dari as-Sunnah al-Maqbûlah sendiri
dapat dikemukakan riwayat dari al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, dan al-Hakim.
Adapun redaksi selengkapnya adalah sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ: مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ
اللهَ وَمَنْ عصَانِى فَقَدْ عَصَى اللهَ (رواه البخارى ومسلم
وابن ماجه)
Artinya: Abu Hurairah ra meriwayatkan
bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: barangsiapa telah mentaati aku, maka
sesungguhnya ia telah mentaati Allah; dan barangsiapa mendurhakai aku, maka
sesungguhnya ia telah mendurhakai Allah (HR. Al-Bukhari, Muslim dan
Ibn Majah).[9]
عَنْ ابن عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ قَالَ: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَينِ لَنْ تَضِلُّوا
مَا تَمَسَكْتُم بِهِما كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِه (رواه
الحاكم)
Artinya: Ibn Abbas ra meriwayatkan,
bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: aku telah meninggalkan kepada kalian dua
perkara yang kamu sekalian tidak akan tersesat jika berbegang kepada keduanya,
yaitu kitab Allah (al-Quran) dan sunnah Rasul-Nya (HR. Al-Hakim).[10]
C. Konsep Sunnah/Hadis Menurut Muhammadiyah
Sebagai gerakan pembaharuan Islam, Muhammadiyah menegaskan bahwa
sumber ajaran Islam itu ada dua, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbûlah (ar-ruju’
ila al-Qur’an wa as-sunnah). Dalam studi hadis, ada dua istilah untuk
menyebut sumber ajaran Islam yang kedua, yaitu as-sunnah dan al-hadis. Kedus
istilah ini sama-sama dipakai oleh Muhammadiyah, namun Muhammadiyah tampaknya
lebih sering menggunakan istilah as-sunnah ketimbang hadis. Penegasan kecenderungan
ini dapat ditelusuri dari dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah.
Dalam Matan dan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah poin
tiga disebutkan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan dua
sumber, yaitu al-Qur’an, kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, dan
Sunnah Rasul, penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran al-Qur’an yang diberikan
oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal pikiran sesuai jiwa ajaran
Islam.
Dalam dokumen resmi Muhammadiyah lainnya, misalnya dalam Himpunan
Putusan Tarjih juga menyebut kata as-Sunnah. Penyebutan itu ditemukan
saat mendefinisikan agama: “agama yakni agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad
SAW ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam
Sunnah yang Shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta
petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Penyebutan kata as-Sunnah
dapat ditemukan pula pada dokumen Muhammadiyah lainnya, misalnya, dalam
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiya dan AD/ART, khususnya pasal yang
menjelaskan identitas dan asas Muhammadiyah yang menyebut kata as-Sunnah.
Dalam Manhaj Tarjih juga disebut kata as-Sunnah. Dalam Manhaj
Tarjih ini diberi sifat al-Maqbulah, sehingga menjadi as-Sunnah al-Maqbulah.
Dari istilah as-Sunnah al-Maqubal tersebut dapat ditemukan dua
konsep penting, yaitu konsep as-Sunnah dan konsep al-Maqbûlah menurut
Muhammadiyah. Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, as-Sunnah adalah
jejak-jejak sekalian Nabi yang suci. Dalam Kepribadian Muhammadiyah disebutkan
bahwa as-Sunnah itu adalah langkah dan perjuangan Nabi SAW dalam segala gerik
dan amal usahanya yang wajib untuk diikuti (wajib ittiba’).
Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah disebutkan bahwa
as-Sunnah adalah segala ajaran Rasul.
Memperhatikan konsep as-Sunnah, seperti termaktup dalam dokumen
resmi Muhammadiyah tersebut, dapat dirumuskan bahwa as-Sunnah menurut
Muhammadiyah adalah segala hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang harus
diteladani (wajib ittiba’). Konsep as-Sunnah ini persis sama dengan
konsep as-Sunnah menurut muhaddisin yang tidak membatasi masa
tertentu, misalnya sejak Nabi diangkat menjadi nabi dan rasul.
Adapun konsep al-Maqbulah dapat ditemukan dalam Manhaj
Tarjih Tahun 2006. Konsep al-Maqbulah ini berhubungan erat dengan
konsep as-Sunnah itu sendiri. Dalam Manhaj disebutkan
bahwa as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber hukum. Yang
dimaksud dengan as-Sunnah al-Maqbûlah adalah “perkataan,
perbuatan, dan ketetapan dari Nabi saw. yang, menurut hasil analisis, memenuhi
kriteria sahih dan ḥasan.”[11] Istilah as-Sunnah al-Maqbûlah ini
merupakan penegasan kembali atas istilah sebelumnya yang menggunakan istilah
as-Sunnah aṣ-Ṣaḥȋḥah atau al-Hadȋs asy-Syarȋf. Dua istilah ini sama-sama
digunakan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih ketika membahas
tentang sumber tasyrȋ.ʻ[12]
Penggunaan istilah as-Sunnah al-Maqbûlah tersebut,
kata Asjmuni Abdurrahman, mantan Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Muhammadiyah
periode 1990-1995, dimaksudkan untuk menghindari salah persepsi tentang istilah
as-Sunnah aṣ-Ṣaḥȋḥah. Istilah as-Sunnah aṣ-Ṣaḥȋḥah
ini dikhawatirkan hanya dipahami hadis sahih saja sedangkan hadis hasan tidak
termasuk, padahal hadis hasan itu dapat diterima sebagai hujah. Jadi, simpul
Asjmuni, yang dimaksud dengan as-Sunnah al-Maqbûlahitu adalah
sunnah yang diterima sebagai sumber hukum, yakni hadis sahih dan ḥasan.[13]Perubahan ini diputuskan pada Munas Tarjih
XXIV di Malang tahun 1989.
Dari konsep as-Sunnah al-Maqbûlah yang dibatasi
pada hadis sahih dan hasan tersebut secara tegas memerintahkan kepada warga
Muhammadiyah untuk melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang akan
digunakan sebagai dalil dalam berislam. Dengan penelitian hadis akan
dihasilkan hadis yang memang betul-betul bahwa hadis tersebut dari Rasulullah.
Harus diakui bahwa hadis yang beredar di tengah masyarakat Muslim Indonesia
banyak yang belum diteliti tingkat kualitasnya. Karena itu, M. Suhudi
Ismail menyebut ada enam alasan mengapa hadis itu hadis diteliti. Enam alasan
tersebut adalah sebagai berikut:[14]
Pertama, karena
hadis itu sebagai sumber ajaran Islam.[15]
Kedua, karena tidak seluruh hadis itu
tertulis pada zaman Nabi. Nabi ketika masih hidup, pernah melarang dan menyuruh
untuk menulis hadis. Kebijakan ini memiliki implikasi terhadap beredarnya hadis
di kalangan sahabat. Sebagai dampaknya, dokumentasi hadis pada zaman menjadi
terbatas, dan lebih banyak berlangsung secara hafalan saja daripada tertulis.
Baru pasca wafatnya Nabi, banyak hadis baru dibukukan. Kenyataan ini membawa
kemungkinan pada ada kemungkinan salah dalam periwayatan. Untuk itu, perlu
diadakan penelitian.
Ketiga, karena telah timbul berbagai
pemalsuan hadis. Pemalsuan hadis sudah terjadi sejak kekhalifan Ali b Abi
Thalib. Faktornya adalah kepentingan politik saat terjadinya konflik Ali b Abi
Thalib dengan Mu`awiyah. Para pendukung masing-masing berupaya untuk memperkuat
kelompoknya dengan cara memalsukan hadis. Bahkan, dalam catatan Ahmad b Hanbal,
ia pernah memergoki seorang dai memalsukan hadis.
Keempat, karena proses
penghimpunan hadis yang memakan waktu lama. Penghimpunan hadis secara resmi dan
massal terjadi atas perintah Umar b Abd Aziz (wafat 101H/720). Dilihat dari
sini, kemudian diukur dengan wafatnya Nabi, jelas memakan waktu kira-kira 200
tahun.
Kelima, karena jumlah kitab hadis yang
banyak dengan metode penyusunan yang beragam. Jumlah kitab himpunan hadis yang
dihimpun oleh periwayat hadis cukup banyak, yang angkanya tidak bisa
dipastikan. Lebih-lebih, sebagian dari para penghimpun hadis itu ada yang
menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu kitab.
Di antara kitab himpunan hadis, ada kitab yang tidak bisa
dilacak dan ada yang bisa dilacak. Yang disebut terakhir ini, misalnya, Sahih
al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan al-Turmudzi, Sunan al-Nasai,
Sunan al-Darimi, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad b Hanbal, Muwatha` Malik, Sahih
Ibn Khuzaimah, Sunan al-Baihaqi, al-Mustadrak al-Hakim, Musnad al-Humaidi,
Musnan Abi `Auwwanah, dan lainnya. Metode yang dipergunakan berbeda karena
focus dari npenghimpunan itu tidak terletak pada metode tetapi pada
penghimpunan hadis.
Keenam, telah terjadi periwayatan hadis
secara makna. Di kalangan sahabat ada perbedaan sedikit berkaitan dengan
periwayatan hadis secara makna. Ali b Abi Thalib, Ibn Abbas, Ibn Mas`ud, Anas b
Malik, Abu Darda`, Abu Hurairah, dan Aisyah adalah sederet tokoh yang
memperbolehkan periwayatan hadis secara makna.
Berkaitan dengan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai
sumber hukum yang bisa dijadikan hujah, Majelis Tarjih memberikan
kaidah-kaidah untuk dapat diperhatikan. Kaidah-kaidah ini berjumlah 11 dan
semuanya berkaitan dengan aspek periwayatannya. Adapun kaidah-kaidah
tersebut dikutipkan di bawah ini:[16]
1. المَوْقُوفُ المُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ
Hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan hujah
2. المَوْقُوفُ الذى فى حُكْمِ المَرْفُوعِ يُحْتَجُّ بِهِ
Hadis maukuf yang termasuk ke dalam kategori marfuʻ dapat dijadikan hujah
3. المَوْقُوفُ
يَكُونُ فى حُكمِ المَرْفُوعِ إِذَا كَانَ فِيهِ قَرِينَةٌ يُفْهمُ مِنْها رَفْعهُ
الى رَسُوْلِ اللهِ (صلعم) كَقَولِ أُمِّ عَطِيَّةَ: كُنّا نُؤْمَرُ أنْ نُخْرِجَ
فى العِيدِ الحُيَّضَ (الحديث ونحوه)
Hadis maukuf termasuk kategori marfuʻ apabila terdapat qarȋnah yang daripadanya dapat
difahami kemakrufaʻannya kepada Rasulullah saw,
seperti penyataan umm Athiyah: Ketika diperintahkan supaya mengajak keluar
wanita-wanita yang sedang haid pada hari Raya” dan seterusnya bunyi hadis itu,
dan sebagainya.
4. مُرْسَلُ التَّابِعِى المُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ
Hadis mursal Tabiʻi
murni tidak dapat dijadikan hujah.
5. مُرْسَلُ التَّابِعِى يُحْتَجُّ بِه إِذَا كَانَتْ ثَمَّ قَرِينَةٌ
تَدُلُّ عَلَى اتِّصَالِه
Hadis mursal Tabiʻi
dapat dijadikan hujah apabila besertanya terdapat qarȋnah yang menunjukkan
kebersambungannya.
6. مُرْسَلُ الصَّحَابِى يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا كَانَتْ ثَمَّ
قَرِينَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصَالِه
Hadis mursal Sahabi dapat dijadikan hujah apabila padanya
terdapat qarȋnah yang menunjukkan kebersambungannya.
7. اَلْاَحَادِيْثُ
الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهُ بَعْضًا لَا يُحْتَجُّ اِلَّا مَعَ كَثْرَةِ
طُرُقِهَا وَفِيْهَا قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهَا وَلَمْ
تُعَارِضْ القُرْانَ وَالحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ
Hadis-hadis daʻif yang
satu sama lainnya saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujah kecuali
apabila qarȋnah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak
bertentangan dengan al-Quran dan hadis sahih.[17]
8. الجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ بَعْدَ البَيَانِ
الشَّافِى المُعْتَبَرِ شَرْعًـا
Jarah (cela) didahulukan atas taʻdil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syaraʻ.
9. تُقْبَلُ
مِمَّنِ اشْتَهَرَ بِالتَّدْلِيْسِ رِوَايَتُهُ إذَا صَرَّحَ بِمَا ظَاهِرُهُ
الاِتِّصَالُ وَكَانَ تَدْلِيْسُهُ غَيْرَ قَادِحٍ فِى عَدَالَتِهِ
Riwayat orang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima
apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlisnya
tidak sampai merusak keadilannya.
10. حَمْلُ الصَّحَابِى اللفْظَ المُشْتَرَكَ عَلَى
اَحَدِ مَعْنَيَيْهِ وَاجِبُ القَبُوْلِ
Penafsiran sahabat terhadap lafad (pernyataan) musyatarak dengan
salah satu maknanya wajib diterima.
11. حَمْلُ الصَّحَابِى الظَّاهِرَ عَلَى غَيْرِهِ
العَمَلُ بِالظَّاهِرِ
Penafsiran sahabat terhadap lafad (pernyataan) ẓahir dengan
makna lain, maka yang diamalkan adalah makna ẓahir tersebut.
Kasman, dalam salah satu bukunya menambahkan dua poin lagi yang
berhubungan dengan kaidah kehujahan hadis menurut Muhammadiyah. Tambahan kaidah
tersebut adalah, pertama, agama, yakni agama Islam yang
diturunkan di dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah Shahihah, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk kebaikan manusia di
dunia dan di di akhirat. Kedua, dalam kitab Iman disebutkan: “kita
wajib percaya akan hal yang dibawa oleh Nabi SAW, yakni al-Qur’an dan berita
dari Nabi SAW yang mutawatir dan memenuhi syarat-syaratnya.[18]
D. Pemahaman
as-Sunnah/hadis Menurut Muhammadiyah
Pada sub ini akan difokuskan pada uraian tentang pemahaman
hadis. Sebagaimana diketahui bahwa dalam studi hadis biasanya dipelajari
tentang periwayatan dan pemahaman hadis. Uraian-uraian sebelumnya telah dibahas
tentang periwayatan hadis. Periwayatan hadis biasanya dimaksudkan untuk
menelusuri otentisitas hadis yang bisa dijadikan sebagai hujah.
Saat membahas tentang metode memahami terhadap sumber ajaran,
dalam Manhaj Tarjih dibedakan antara metode yang berhubungan dengan hukum dan
metode yang berhubungan dengan pemikiran Islam. Metode pemahaman yang
berhubungan dengan hukum, menurut Manhaj Tarjih, dibedakan menjadi tiga, yaitu
metode pertama, bayânȋ.[19] Menilik pengertiannya, metode bayânȋ jelas ditujukan untuk memahami nash, termasuk
as-Sunnah. Kedua, ta’lili,[20]dan ketiga, istislahi.[21] Dua metode memahami yang disebut
belakang jika tidak dijumpai di dalam nash.
Sedangkan metode pemahaman terhadap sumber dalam pemikiran
Islam, menurut Majelis Tarjih, dibedakan menjadi tiga, yaitu bayânȋ, burhânȋ, dan ʻirfânȋ. Metode pemahaman, baik pada masalah hukum maupun pemikiran
Islam harus dilakukan pendekatan secara komprehensif
integralistik melalui pendekatan dalam suatu hubungan yang bersifat spiral.[22] Tampaknya, Majelis Tarjih telah
mengantisipasi adanya kemungkinan pemahaman terhadap naṣṣ al-Quran
dan as-Sunnahal-Maqbûlah sebagai sumber hukum dan pemikiran Islam
secara parsial, di samping pemahaman terhadap kedua sumber tersebut sering
menimbulkan perbedaan di kalangan para ulama’.
Dalam ilmu tafsir, pemahaman terhadap naṣṣ sumber
hukum, yakni al-Quran dan as-Sunnahal-Maqbûlah terdapat dua
kecenderungan, yaitu berorientasi pada teks dan berorientasi pada konteks.
Orientasi pertama biasa disebut dengan pemahaman tekstual sedangkan orientasi
kedua biasa disebut dengan pemahaman kontekstual. Dikatakan pemahaman tekstual
karena pemahaman dan penemuan hukum dari suatu naṣṣ dilakukan
dengan pendekatan kebahasaan. Dikatakan pemahaman kontekstual karena
pemahaman dan penemuan hukum dari suatu naṣṣ dengan memadukan
aspek kebahasaan dan konteks diturunkannya ayat dan disabdakannya
as-Sunnah al-Maqbûlah.
Isi kandungan al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah biasanya
dipilah ke dalam hal-hal berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak dan muamalah
duniawiyah. Dalam hubungannya dengan pemahaman nash dari as-Sunnah, Majelis
Tarjih memberikan kaidah:
(1) dalam bidang akidah, menurut Majelis Tarjih, maka
pemahaman ẓahir didahulukan dari takwil.[23]
(2) dalam masalah akidah, dalil dari as-Sunnah hanya
dipergunakan yang mutawatir.[24]
(3) dalam bidang ibadah, menurut Majelis Tarjih, pemahaman
terhadap as-Sunnah dapat dilakukan dengan menggunakan akal sepanjang diketahui
latar belakang dan ntujuannya, meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi,
sehingga prinsip mendahulukan nas daropada akal memiliki kelenturan dalam
menghadapi perubahan situasi dan kondisi.[25]
(4) mentaʻlȋl dalil dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah sepanjang sesuai dengan tujuan syariat.[26]
(4) mentaʻlȋl dalil dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah sepanjang sesuai dengan tujuan syariat.[26]
(5) as-Sunnah dapat menjadi takhsis terhadap al-Qur’an kecuali
dalam bidang akidah.
(6) memahami nash, baik al-Quran maupun hadis yang
musytarak faham sahabat dapat diterima.
(7) dalam bidang muamalah, khususnya yang terkait dengan al-umûr
ad-dunyawiyah yang tidak termasuk tugas Nabi, penggunaan akal
diperlukan demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.[27]
(8) dalil-dalil as-Sunnah yang nampak saling bertentangan
digunakan cara al-jam’u wa at-taufiq, dan kalau tidak dapat baru
dilakukan tarjih.[28] Dalam pentarjihan ini, hal-hal yang
perlu dilakukan adalah aspek sanad, matan, materi hukum, dan segi eksternal.
Aspek sanad berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas rawi, bentuk dan sifat
periwayatan. Adapun aspek yang berkaitan dengan matan adalah matan yang
menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat
amr, dan matan yang menggunakan sighat khas lebih rajah
dari sighat ‘am.[29]
Dalam proses pemahaman terhadap nash as-Sunnah untuk
menghasilkan suatu penemuan hukum, di samping memperhatikan kaidah-kaidah di
atas, Manhaj Tarjih menyebutkan dan mengenalkan pendekatan. Pendekatan menurut
Manhaj Tarjih adalah hermeutik, historis, sosiologi, dan antropologi. Meskipun
di dalam Manhaj Tarjih disebutkan demikian, namun ada sebagian ulama Muhammadiyah
yang belum sepenuhnya menyetujuinya, khususnya pendekatan hermeneutik.
Pendekatan-pendekatan ini belum didefinisikan secara operasional oleh Manhaj
Tarjih, khususnya berkaitan dengan ypaya penemuan hukum. Tidak dijelaskannya
secara operasional ini membuat pendekatan-pendekatan itu menjadi liar, karena
itu, Majelis Tarjih perlu memberikan penjelasan yang operasional, lebih-lebih
pendekatan herneneutik, sebab pendekatan ini banyak definisinya.
E. Penutup
Makalah ini banyak kekurangannya. Oleh karena itu, mohon
sarannya untuk kesempurnaan makalah singkat ini. Diucapkan banyak terima kasih
atas masukan yang disampaikan. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Wallahu
A’lam.
[1]Menurut Wawan Gunawan, yang
dimaksud Manhaj Tarjih adalah pedoman beristinbath yang digunakan para
ulama Muhammadiyah. Sebagai suatu pedoman bertarjih, Manhaj Tarjih mengalami
dinamika. Manhaj Tarjih disusun dan dikembangkan berdasarkan pengalaman para
ulama menemukan hukum Islam.
[2] Sunnah dan Sunnah dalam makalah ini
dipergunakan bergantian dengan makna sama.
[3]Sekretaris Majelis Tarjih dan Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah.
[4]John O. Voll, “Reneval and Reform in
Islamic History: Tajdid and Islah,” dalam John L. Esposito (ed.), Voice
of Resurgent Islam (New York: Oxford University Press, 1983), hlm. 35.
[5]Secara khusus, kelahiran Persis dimaksudkan
sebagai gerakan yang memberantas bid’ah, khurafat, takhayyul,
taklid, dan kemusyrikan. Al-Irsyad menyebut dirinya sejak awal sebagai gerakan
untuk menyebarkan “reformasi” Islam. Adapun NU secara tegas menyebut sebagai
gerakan Islam berdasarkan pada doktrin ahlus Sunnah wal Jamaah dan berpegang
teguh pada ajaran empat mazhab fiqh. Lihat, Ahmad Jainuri, “Muhammadiyah
dalam Dimensi Tajdid: Tinjauan Pemikiran Keagamaan,” dalam Maryadi dan Abdullah
Aly (ed.), Muhammadiyah dalam Kritik (Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2000), hlm. 23-24.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31)[6]
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ
إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ
لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64)[7]
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7)[8]
[9]Tim PP Muhammadiyah, Tanya Jawab
Agama 3, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), hlm. 17.
[10]Ibid., hlm. 18-19.
[11]Lihat, Manhaj Tarjih Tahun 2006, Bab III
Sub A.
[12]Lihat, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan
Putusan Tarjih, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014), hlm.
280; Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih pada angka 1 memakai istilah
as-Sunnah aṣ-Ṣaḥȋḥah untuk menyebut sumber istidlal
dalam berfatwa.
[13]Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih
Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 9.
[14]M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7-20.[15]Lihat, QS. 59/7, : وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
Juga terdapat dalam 3/32: قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ
وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)
Juga terdapat dalam 4/80: مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ
عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (80)
Juga terdapat dalam 33/21: لقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21)
Dari ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis itu
merupakan sumber ajaran Islam. Karena itu, orang yang menolaknya adalah menolak
petunjuk al-Quran itu sendiri. Melakukan penelitian menjadi penting untuk
menghindari penggunaan hadis sebagai dalil yang ternyata itu bukan dari
Rasulullah saw. Jika demikian, kita akan kena isi hadis Nabi berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو
نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ
الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
(البخارى)
[16] Manhaj Tarjih Tahun 2006, Bab III
Sub H.
[17]Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015, memberikan perincian
tentang bolehnya hadis daʻif untuk dijadikan hujah.
Kebolehan tersebut apabila (1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama
lain saling menguatkan, (2) ada indikasi berasal dari Nabi saw, (3) tidak
bertentangan dengan al-Quran, (4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang
sudah dinyatakan sahih, dan (5) kedaifannya bukan karena rawi hadis
bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis. Lihat, Syamsul Anwar, “Manhaj
Tarjih dan Metode Penetapan,” hlm. 4.
[18]Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah
(Yogyakarta: Stain Jember Press dan Mitra Pustaka), hlm. 381-382.
[19]Yaitu metode penetapan hukum yang
menggunakan pendekatan kebahasaan.
[20]Ta‘lili (rasionalistik) yaitu metode
penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran.
[21]Istishlahi (filosofis) yaitu metode
penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan
[22]Manhaj Tarjih Tahun 2006, Bab III angka 2.
Dalam Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih, poin 10 disebutkan bahwa
penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan
cara komprehensif, utuh dan bulat, tidak terpisah.
[23]Lihat Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih
yang telah Dilakukan dalam Menetapkan keputusan poin 16.
[24]Ibid., poin 5.
[25]Ibid., poin 13.
[26]Ibid., poin 9. Salah satu contohnya
adalah Fatwa tentang penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan qamariyah.
[27]Ibid., poin 14. Lihat contoh Fatwa
Tarjih tentang status nikah sirri dan perceraian di luar pengadilan.
source :http://m.muhammadiyah.or.id/id/artikel-544-detail-manhaj-tarjih-tentang-sunnahhadis-sebagai-sumber-penetapan-fatwa.html
Harrah's Casino & Hotel - Mapyro
BalasHapus777 Harrah's Blvd S, Atlantic 안동 출장안마 City, NJ 08401 (609) 711-3499. United States. Mon, Dec 13. Fri & Sat - 10:00 pm. Closed 순천 출장샵 until 7:00 pm. Open 김해 출장마사지 until 용인 출장안마 2:00 pm. 평택 출장샵 Rating: 3.6 · 971 reviews