Muhammadiyah pada 1927 telah membentuk Majlis Tarjih
Muhammadiyah yang tugas utamanya adalah menyampaikan
fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan
kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat, khususnya
anggota dan keluarga Muhammadiyah.
Majlis Tarjih ini mempunyai
kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai
Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan
bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya
dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan
kalau dikatakan bahwa Majlis Tarjih ini merupakan ‘ Think Thank “ –nya
Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah “ processor “ pada sebuah komputer, yang
bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Dalam persoalan Upacara Tahlilan Kematian yang banyak
menjadi kontroversi di masyarakat, Majlis Tarjih telah beberapa kali
mengeluarkan fatwa yang dimuat di majalah Suara Muhammadiyah setelah menerima
permintaan fatwa yang ditanyakan
oleh Saudara Ruslan Hamidi, Moyudan, Sleman (SM No. 11 Th. Ke-88/2003), Ferry
al-Firdaus, Cilawu Garut (SM No. 24 Th. Ke-90/2005) Tamrin Mobonggi, Limbato,
Gorontalo (SM No. 3 Th. Ke-92/2007).
Membaca tahlil atau
Surat Yasin sejatinya adalah berzikir; zikir yang bertujuan mendoakan keluarga
yang telah wafat. Hal itu bisa dilakukan secara individual maupun berjamaah.
Jika dilakukan secara individual, maka kita bisa melakukannya kapan saja dan di
mana saja. Jika dilakukan secara berjamaah, tentu harus berkumpul di tempat
khusus. Zikir yang dilakukan secara bersama-sama, merupakan ibadah yang
dianjurkan oleh Islam.
Muhammadiyah Menganjurkan Membaca ‘Tahlil’
Kami jelaskan kembali secara ringkas tentang persoalan
tahlilan tersebut, agar saudara dapat lebih mudah memahaminya.Jika yang
dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha illa Allah” (tiada Tuhan selain
Allah), Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan agar memperbanyak
membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam
al-Qur`an disebutkan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
“Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari nikmat-Ku.” [al-Baqarah (2):152]
Rasulullah SAW bersabda:
لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ
عَزَّوَجَلَّ إِلاَّحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ (رواه
مسلم
“Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil
berzikir kepada Allah Swt, kecuali mereka akan dikelilingi oleh para malaikat.”
Imam as-Syafi’i ra. menyatakan:
“Sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan
hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, “
Allah Swt. akan
melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati, dan Allah akan
memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya. (HR. Muslim)
Allah Swt memerintahkan
kepada Rasul-Nya memperkenankan umat Islam mendoakan saudaranya yang masih
hidup, tentu diperbolehkan juga mendoakan saudaranya yang telah wafat. Dan
barokah doa tersebut Insya Allah akan sampai kepada yang didoakan. Sebagaimana
Allah Swt. Maha Kuasa memberi pahala kepada orang yang hidup, Allah Swt. juga
Maha Kuasa memberi manfaat doa kepada mayit.”
(Diriwayatkan al-Baihaqi
dalam Manaqib al-Syafi’i, Juz I, hal. 430) Dalam hadits riwayat Aisyah ra.,
Rasulullah saw. bersabda:
ما من ميت تصلي عليه أمة من المسلمين يبلغون مائة يشفعون
له إلا شفعو فيه (صحيح مسلم
Mayyit yang dishalati oleh seratus orang
Muslimin sambil (berdoa) memintakan ampun baginya, tentu permohonan mereka akan
diterima. (HR. Muslim, 1576) Mendoakan keluarga, khususnya kedua orang tua yang
sudah wafat, merupakan anjuran agama. Karena orang yang sudah wafat tidak bisa
lagi berbuat kebajikan. Yang bisa ia harapkan hanya 3 hal yaitu:
- shadaqah jariyah.
- ilmu yang bermanfaat.
- Dan anak shaleh yang selalu mendoakan atau bersedekah untuknya
(al-hadits).
Jika
ilmu dan harta tidak punya, maka doa anak-cuculah yang selalu ditunggu oleh
ahli kubur (kita semua calon ahli kubur, lhoo…). Kita diajurkan selalu
mendoakan leluhur kita, yang wafatnya bukan disebabkan mati syahid, karena
mereka pasti akan menghadapi ujian berat di alam kubur. Hal ini ditegaskan oleh
banyak hadits Nabi SAW (akan dijelaskan di belakang). Sedangkan orang yang mati
syahid, mereka sudah “cukup” dengan kesyahidannya. Pernah seorang shahabat
bertanya kepada Rasulullah SAW, kenapa hanya orang mati syahid yang terbebas
dari ujian kubur? Rasulullah SAW menjawab:
كفى ببارقة السيوف على رأسه فتنة
“Cukuplah ujian orang
yang mati syahid itu ketika ia menghadapi kilatan pedang (ujiannya saat
berperang).”
Sedangkan bagi orang kebanyakan yang tidak
mati syahid, maka ujian dan siksa kubur akan selalu menunggu. Sehingga wajar
bila kita selalu mendoakan mereka, baik lewat tahlil atau bacaan Surat Yasin,
agar mereka bisa menghadapi ujian di alam kubur dengan baik. Hakikat Tahlil dan
Yasiin Secara bahasa, tahlil artinya membaca la ilaha illalLah. Istilah sudah
menjadi dialek orang Arab yang kemudian diindonesiakan. Karena itu, di
Indonesia, istilah tahlil digunakan untuk menunjukkan aktivitas doa yang di
dalamnya memuat bacaan la ilaha illalLah, yang ditujukan untuk orang yang sudah
wafat. Dari sini dapat dipahami, bahwa di dalam tahlil pasti terdapat bacaan la
ilaha illalLah dan zikir-zikir yang lain, termasuk ayat-ayat al-Qur’an. Tahlil
yang biasa dibaca oleh kaum Muslimin di Indonesia, khususnya kaum Nahdliyyin,
merupakan kumpulan doa yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an, mulai dari Surat
Al-Fatihah, permulaan Surat al-Baqarah, hingga tiga surat terakhir (Al-Ikhlas,
al-Falaaq, dan an-Naas). Banyak sekali riwayat hadits yang menunjukkan
keutamaan bacaan-bacaan tersebut, yang tentu saja tidak cukup diurai satu
per-satu di sini. Dari sini dapat ditarik benang merah, bahwa redaksi tahlil
tidak harus sama. Tidak ada tahlil tunggal yang harus diikuti oleh semua orang.
Setiap doa yang ditujukan untuk orang yang sudah wafat, yang di dalamnya memuat
la ilaha illalLah, semua itu hakikatnya adalah tahlil. Maka, di setiap daerah,
bacaan tahlil itu tidak sama persis. Sebab, tujuan utama tahlil bukan
lafadznya, bukan redaksinya, melainkan doanya dan kandungan isinya. Mengenai
pembacaan Surat Yasin, hal itu juga merupakan ibadah dan doa yang sangat
dianjurkan. Diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar ra.,
Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ويس قلب القرأن لايقرؤها رجلٌ يريد
الله تبارك وتعالى والدار الاخرة إلا غفرله, واقرؤها على موتاكم (مسندأحمد بن
حنبل) "Surat Yasin adalah jantung Al-Qur’an. Tidaklah seseorang
membacanya dengan mengharap ridla Allah Swt, kecuali
Allah Swt. akan mengampuni dosa-dosanya.”
Maka bacalah Surta Yasin atas orang-orang
yang telah meninggal di antara kamu sekalian. (Musnad Ahmad ibn Hanbal, 1941) Pembagian
Waktu Mengenai waktu untuk mendoakan, sebenarnya boleh dilakukan kapan saja dan
di mana, baik dilakukan secara individual maupun bersama-sama. Sebab, seperti
telah ditegaskan di muka, orang yang sudah wafat itu mendapat ujian berat
selama berada di alam kubur, menunggu hari kiamat tiba. Dalam sebuah riwayat
dikisahkan, saat terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW, beliau
memimpin shalat gerhana. Dan ketika sedang berkhutbah, beliau mengingatkan
tentang beratnya ujian bagi orang yang sudah wafat:
إن الناس يفتنون في قبورهم كفتنة
الدجال. قالت عائشة وكنا نسمعه بعد ذلك يتعوذ من عذاب القبر “Sesungguhnya
manusia itu diuji di dalam kuburan mereka, seperti ujian Dajjal. Siti Aisyah
menyatakan: Setelah itu kami mendengar beliau (Nabi) memohon perlindungan dari
siksa kubur. (As-Sunan al-Kubra li an-Nasa’i, 1/572. Lihat juga Tahdzib
al-Atsar 2/591 dan Shahih Ibnu Hibban 7/81).”
Menurut Syeikh al-Albani, hadits riwayat
an-Nasa’i ini adalah hadits shahih, sehingga bisa dijadikan sandaran hukum.
Mengenai pilihan 7 hari, 40 hari, atau 100 hari untuk melakukan doa bersama,
hal itu karena mengikuti kebiasan para sahabat dan ulama salafus shaleh. Imam
Ahmad bin Hambal ra. menyatakan dalam kitab az-Zuhd, sebagaimana dikutip oleh
Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi dan ad-Durr al-Mantsur:
حدثنا هاشم بن القاسم قال حدثنا
الاشجعي عن سفيان قال: قال طاوس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون
أن يطعموا عنهم تلك الآيام
“Orang-orang yang
meninggal dunia itu mendapat ujian berat selama 7 hari di dalam kubur mereka.
Maka kemudian para ulama salaf menganjurkan bersedekah makanan untuk orang yang
meninggal dunia selama tujuh hari itu.”
Muhammadiyah Mengharamkan Upacara yang Terkait Hari
Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah
upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari
atau seratus hari dan sebagainya.
Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah
sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu
yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan
dengan ibadah, maka kita harus kembali kepada tuntunan Islam.Apalagi, upacara
semacam itu harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam
kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat
mubazir). Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus
bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian
sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa.
Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam
medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan
bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan
minum.
Perlu diketahui pula, bahwa setelah kematian seseorang, tidak ada tuntunan
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyelenggarakan upacara
atau hajatan. Yang ada adalah tuntunan untuk:
- memberi tanda pada kubur
agar diketahui siapa yang berkubur di tempat itu (HR. Abu Dawud dari
Muthallib bin Abdullah, Sunan Abi Dawud, Bab Fi Jam’i al-Mauta fi
Qabr …, Juz 9, hlm. 22),
- mendoakan atau memohonkan
ampun kepada Allah SWT (HR. Abu Dawud dari ‘Utsman ibn ‘Affan dan
dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Sunan Abi Dawud, Bab al-Istighfar
‘inda al-Qabr lil-Mayyit …, Juz 9, hlm. 41) dan
- dibolehkan ziarah kubur (HR.
Muslim dari Buraidah ibn al-Khusaib al-Aslami, Bab Bayan Ma Kana
min an-Nahyi …, Juz 13, hlm. 113)
Nama/NIM :Rizaldi eko prasetyo/151080200120
Source : http://asepwijayakusumah.blogspot.co.id/2013/04/tentang-yasin-dan-tahlil.html
0 Response to "Pandangan Muhammadiyah terhadap haul selamatan orang mati"
Posting Komentar